Pada jendela kamar yang kau
titipkan kerinduan, gerimis selalu saja datang. Menyapa lembut memori pertemuan
dengannya dan sejuta ingatan. Juga dingin, yang terhirup embus napas, lebih
dahulu membekukan taman kenangan, tentang cinta dan perjumpaan.
Aku hanya diam. Menatap dan
ditatap.
Gerimis masih saja menemani
kerinduan. Di tengah kebisuan, kau duduk pada bangku yang telah lama
dipersiapkan di depan jendela. Sambil merapatkan kedua kaki berpijak di bantal
bangku, kau tempelkan dagumu pada tangan yang memegang kedua betis itu. Melamun
dan mengisak.
Kita semakin dekat. Aku menyimak.
Rintik gerimis selalu
menawarkan ingatan. Sementara embun yang mencetak buram jendela, masih
samar-samar dicerna penglihatan. Kau masih sabar menunggu sosok impian, penuh
penantian. Berharap akan hadir seorang pangeran yang mengetuk jendela, lalu menuntun
dan membawamu menuju taman harapan.
Adakalanya, setiap kerinduan
tak selalu kau titip lewat jendela. Terkadang, ia merupakan jelmaan dari kekosongan atas
jawaban penantian. Juga harapan tentang kehampaan. Tapi, itu tetap rindumu.
Bawalah kemanapun kau mau.
Aku minta maaf.
Masih dan tak pernah bosan,
embun-embun itu mencetak buram jendela. Di sana, kau rajin menulis aksara.
Hingga terukir sebuah nama. Lagi-lagi gerimis dan hujan menghapusnya.
Menimbulkan embun baru. Kau menulis namanya lagi. Begitulah seterusnya.
Aku hanya kaca, pada
jendela-jendela yang kau rindukan perjumpaan. Biarlah tak terlihat. Karena
tugasku meneruskan penglihatanmu akan sosok pangeran di luar sana. Kau bukan
melihatku, tapi sosok disebalik aku.
Aku selalu senang, ketika
jemarimu menuliskan aksara. Membelai lembut aku, meskipun yang kau tulis adalah
namanya. Apalagi ingatanmu telah berlari jauh mengingat tentang dia.
Bukan aku, sebening kaca. Yang menantimu.. dengan sebening cinta.
Biarlah setiap amukan atas
penantian rindumu tak terjawab, sampai akhirnya memecahkan aku. Tak mengapa diri ini
pecah. Aku akan merindukan saat-saat ketika engkau membelaiku, meskipun yang
kau tulis adalah namanya.
Hanya satu tugasku, hadir
untuk melindungimu dari rintiknya gerimis itu. Agar teduh. Supaya kau nyaman.
Tidak basah dan kedinginan.
Kesedihan lebih dulu hilang tersiram gerimis itu. Lalu gerimis dan
air mata bercampur, menumbuhkan kuntum lain hingga menjelma bunga rindu.
Seindah mekar yang tak pernah kau tahu.
Kau memang tak perlu tahu
aku. Karena di sini sudah cukup. Aku menatapmu. Kau menunggu, dan menatapnya.
Dan kisah kita selalu saja tentang rindu, air mata dan sebuah jendela.
Tangerang Selatan, Maret 2019
N. A. Fadhli
Sad
BalasHapusIya... :(
Hapus