Aku tidak memintamu untuk
menghampiriku. Mendekatiku pun tidak, tak pernah memaksamu melakukan hal seperti itu.
Aku tahu kau terlalu sibuk dengannya, mereka, dan rekan kecil yang selalu
bersamamu, dalam genggaman itu. Rekan yang melebihi sebuah pasangan, rekan yang selalu ramai dengan notifikasi-notifikasi tentang dunia luar.
Aku tidak ingin menyuruhmu untuk mengerti apapun keadaanku.
Memahami tentangku dan seribu bisu. Cukup perhatikan dengan teliti. Sedikit-sedikit, agar kau kenal. Supaya hafal. Setidaknya, wajah ini saja.
Memahami tentangku dan seribu bisu. Cukup perhatikan dengan teliti. Sedikit-sedikit, agar kau kenal. Supaya hafal. Setidaknya, wajah ini saja.
Aku tetap di sini, diam dan
taat. Tidak pergi kemana-mana, selalu menunggu. Tabah terhadap penantian
tentangmu, dan seribu kehadiran.
Kau memang selalu hadir.
Disetiap hari-hari yang kita lalui, tanpa pandangan, atau sapaanmu. Diantara
parau jerit panggilan yang kugemakan kepada ruangan itu. Tetapi tetap saja,
masih bisu. Dan menjadi keheningan. Bukan di telinga, tapi di hatimu. Terlanjur
bising oleh kesibukan palsu.
Kau tak pernah menghiraukan
aku, yang terlalu patuh menunggu. Mungkin, adanya kehadiran ini mengganggu
pandanganmu. Usirlah aku. Lempar kemanapun kau mau. Asal jangan percikkan api
untukku. Karena sudah cukup debu menemani umur penantian, jangan jadikan
aku seperti mereka.
Mungkin dengan melihat,
memeluk sampai memantau keseluruhan aku, sedikit-banyak membuatmu mengerti
tentangku. Kau akan memahami sedikit sesuatu baru. Semoga.
Bukan tentang aku. Tapi
keadaan sekitar. Membantumu menambah nutrisi baru. Tentang nutrisi yang menambah dan memenuhi pikiranmu. Sesederhana itu saja. Namun, sulit bagiku memikat hatimu. Itulah
kelemahanku, yang kalah oleh peradaban waktu.
Maafkan aku, yang terlalu
patuh menunggu. Satu hal perlu kau tahu, aku tetap seperti ini.
Salam, dari aku yang selalu menunggumu.
Salam, dari aku yang selalu menunggumu.
Bogor, 2016
N. A. Fadhli
Al Quran
BalasHapus