Sudah seminggu yang lalu bertemu dengannya. Namun masih berbekas satu kalimat --yang mungkin
sengaja atau tak sengaja-- ia ucapkan, sadar atau tidak sadar ia lontarkan.
Ia adalah seorang anak laki-laki dengan umur enam tahun dan
sekarang berstatus sebagai anak TK kelas B, yang sebentar lagi akan menjadi
anak kelas satu SD. Panggilan akrabnya adalah Ai, namun saya lupa nama lengkap
anak itu. hehe.
Pengalaman berkesan tersebut
bermula ketika Ai, dan orang tuanya yang berstatus sebagai Guru SD di tempat Ai
bersekolah (TK dan SD di bawah satu Yayasan) bermain ke rumah kami. Bundanya
(Bunda: Panggilan Ai kepada ibunya), mengantar Ai sekaligus mengajar di SD yang
letaknya tidak terlalu jauh dari rumah keluarga kami.
Sore itu, selepas Ashar,
sekitar jam 16.40 WIB, Ai main dengan adik bungsu saya (Dhika) yang sekarang
umurnya baru 4 tahun. Ai bercerita ini-itu, sana-sini, menanyakan Dhika kapan
sekolah TK, juga berbicara ucapan yang sampai sekarang masih saya ingat.
“Ai nanti abis TK, terus SD,
terus SMP, terus SMA, terus Kuliah, terus Kerja.”
Itulah satu kalimat yang
terlontar dari ucapannya, dan sampai sekarang masih berdenging keras dalam
pikiran saya.
Mungkin terdengar biasa saja,
dan serasa wajar. Namun, pikiran saya menangkap, anak tersebut begitu sistematis
dalam menyusun masa depan. Padahal baru enam tahun, lho!
Entah didikan langsung dari bundanya yang memang
sangat keren, seorang guru, membentuk pola pikir Ai yang memang berbeda
dari kebanyakan anak lainnya, atau pergaulan yang sudah high level. Entah. Tapi
saya tetap saja mengaggap anak itu hanyalah seorang bocah yang baru mengenal
dunia alfabet, angka-angka, dan alif-ba-ta-tsa, dan lain lain.
Jaman sekarang, rasanya
langka menemukan anak dengan pemikiran seperti itu. Kecuali, jika memang berada
di lingkungan keluarga yang berbasis akademisi, atau terlahir dari keluarga
terhimpit ekonomi, yang menuntun seorang anak menajamkan pola pikir lebih
runcing dari kebanyakan orang.
Saya begitu kagum
terhadap Ai, sudah menyusun setiap petak lantai dalam perjalanan hidupnya.
Untung saja kata “nikah” tidak ada di dalam kalimat tersebut, hahaha.
Anak itu, bocah itu, Ai,
telah menggedor batin saya. Betapa ia mengingatkan saya untuk selalu menyusun
masa depan. Lebih daripada itu, menyusun dalam jangka waktu yang sangat
panjang.
Memang, perkataan
anak kecil begitu tulus, jujur, tidak dibuat-buat. Kata-kata itu murni datang dari
dalam jiwanya yang bersih.
Tidak peduli berapapun umur
seseorang, selama perkataan itu benar, menyentuh, menepuk bahu-bahu pemikiran
kita, rasanya tidak ada alasan untuk meremehkannya.
Bogor, 18 Februari 2017 &
03 Maret 2017
N. A. Fadhli
Komentar
Posting Komentar